Menuju S2 - Sebuah Curhatan

Hello, blogspot.

To be honest, post kali ini agak berbeda dengan post-postku sebelumnya yang kebanyakan berisi soal review dan pengalaman. Di post ini, aku simply mau mencurahkan isi hati soal keputusanku (terutama hal yang harus aku korbankan) untuk melanjutkan sekolah S2. Believe me, belum berangkat S2 pun ini galaunya sudah setengah mati.

Sedikit cerita, keluargaku sangat mem-value yang namanya pendidikan. Ayah dan Ibuku bisa dibilang mampu berada di titik ini karena mereka berjuang melalui pendidikan. Khususnya Ibu, beliau tidak berasal dari keluarga yang mampu, sehingga ketika beliau bisa menyelesaikan pendidikan doktornya dan berhasil di karirnya, beliau percaya itu semua (selain tentu saja karena doa Kakek dan Nenek) karena peluh yang dikeluarkan selama bersekolah. Oleh karena itu, dari dulu aku teracuni bahwa aku harus menempuh pendidikan yang baik. Sehingga, at some point of my life, S2 itu bukan sebuah opsi, tapi kewajiban.

Tenang saja, kawan. Lambat laun pikiranku memang berubah. Aku menyadari bahwa pendidikan itu harus dibarengi dengan passion dan pengalaman. Jadi tentu saja aku juga sangat mengejar pengalaman yang sejalan dengan minatku. Tapi memang aku kemudian bertemu satu momen dimana aku tahu bahwa memang aku ingin S2. Bukan karena background keluargaku, melainkan karena dari dalam diriku aku tahu bahwa aku ingin memperdalam ilmu marketing analytics-ku. Aku ingin menjadi big data expert di bidang Marketing. Aku ingin memiliki spesialisasi disana yang aku rasa S2 dapat menunjang mimpiku itu.

Long story short, aku pun mantap ingin mengambil Master of Marketing Intelligence di University of Groningen, Belanda. Mungkin di lain post akan aku ceritakan latar belakangku mengambil jurusan ini. Tapi bukan itu inti tulisan sekarang.

Ketika aku tahu bahwa aku ingin S2, aku belum sadar seberapa banyak yang harus aku korbankan. Namun sekarang, sebulan sebelum keberangkatan, aku benar-benar mulai mengerti bahwa aku benar-benar akan meninggalkan zona nyamanku -untuk sementara setidaknya.

Untuk S2 itu butuh funding yang memadai

Aku tahu S2 memerlukan biaya yang besar, apalagi jurusan impianku tidak berada di Indonesia, yang mana tentu saja adalah sebuah multiplier yang besar dibanding jika bersekolah di Indonesia. Aku beruntung karena aku mendapat funding (meski last minute) dari StuNed scholarship, sebuah beasiswa dari Pemerintah Belanda.

Tapi hey kawan, meski aku dapat scholarship, tetap saja keluargaku harus menyiapkan dana jaga-jaga. Minimal, harus punya uang untuk menalangi biaya bulan pertama disana. Ini pengorbanan pertama, uang.

Aku saat ini sudah nyaman memiliki pekerjaan dengan gaji yang cukup di perusahaan yang baik. Kalau mau enaknya, aku bisa saja meneruskan karir disini tanpa perlu berkeinginan untuk S2. Tapi, leiden is lijden :)

Perempuan, di rumah saja, buat apa pendidikan tinggi?

Keinginanku untuk pergi S2 tidak lepas dari nyinyiran beberapa anggota keluarga dekat. Bisa dibilang Ibuku itu adalah seorang outlier: beliau memiliki pendidikan tinggi dan memiliki karir yang baik. Meanwhile, sebagian anggota keluargaku itu memilih menjadi stay-at-home moms, which is completely fine. Fine............until mereka mempertanyakan keputusanku yang semacam mengikuti jejak Ibu: mencoba mendapat pendidikan yang lebih baik. I thought it's me to choose, right??

Gak sekali dua kali saja whatsapp masuk ke inboxku yang meyakinkanku bahwa aku jangan menempuh pendidikan yang terlalu tinggi. Fokus saja untuk mencari suami, menikah, memiliki anak dan berkeluarga. Gak salah kok, tapi kalau di tengah-tengah itu aku mau menyelipkan fase "S2", "memiliki karir yang baik", "menjadi role model, a supermom for my kids" juga gak salah kan?

Aku tidak pernah begitu menggubris segala nyinyiran, yang bahkan datang dari temanku sendiri. Kalau kata Ibu, ignorance is a bliss. Harus belajar fokus pada tujuan yang kita percayai dan harus tau kapan kita harus speak up dan membela diri serta kapan kita harus membiarkan saja orang lain mau berkata apa karena mereka tidak tahu apa pertimbangan kita. Ini pengorbanan keduaku, menerima nyinyiran dan sindiran.

Pacar?

Aku punya pacar, sudah 4.5 tahun. Almas ini orangnya baik banget dan unik. Dia berbeda dari aku yang super serius menjalani hidup. Dia sangat lay back, dan menjadi sanity check-ku ketika aku sudah terlalu stres dengan semua ambisi. Kita berbeda, tapi mungkin makanya cocok.

Dia pengorbanan ketigaku.

Aku akan harus sekolah di tempat yang jaraknya 12 jam pakai pesawat direct dari Indonesia. I am risking my own relationship and it's not easy. Ketika terbiasa ketemu dan tiba-tiba satu tahun harus puasa ketemu, pasti akan berat. And you know it would be tough because you're serious with him. Tapi, kita percaya kalau jodoh gak akan kemana, ya kan? :)

1 year full of opportunity

Kalau lagi scrolling facebook page dan lihat profile beberapa kakak kelas, saya selalu kagum bagaimana mereka bisa accelerate dalam 1 tahun. Tiba-tiba ada yang udah jadi assistant brand manager, ada yang udah punya start-up, ada yang punya NGO, etc.

Ini pengorbanan keempat, aku harus tutup mata terhadap opportunity yang datang setahun ke depan dan fokus menyelesaikan S2-ku.

Bukan omong kosong belaka karena kemarin aku benar-benar ditawari jadi Digital Marketing Team Lead di sebuah perusahaan consumer goods asal Jepang yang cukup terkenal. Flattered? Jelas. Kepikiran untuk gak S2 aja? Tentu. Tapi lalu aku merenung lagi soal driver aku ingin S2, dan sudah jelas bahwa aku memang mantap untuk S2 untuk meningkatkan kemampuanku. Aku lalu menyampaikan ke perusahaan tersebut untuk keep in touch di satu tahun kedepan.

Lots and lots and lots of precious moments

Ini aku belum berangkat loh ya, dan dua temanku sudah bilang kemungkinan akan menikah di akhir tahun ini atau awal tahun depan, ketika aku masih di Belanda!! Belum lagi, aku akan melewatkan banyak momen-momen bersama keluarga dekatku. Aku akan melewati momen dimana adikku akan masuk kuliah, aku akan melewati momen dimana kucingku punya anak (wkwk serius loh ini dia lagi masuk musim kawin), aku akan melewati momen sepupu dekatku wisuda, dan masih banyak lagi.


Sekarang, membayangkan lima hal di atas aja sudah bikin aku jiper sedikit.... Cuma kalau kata Bu Indy dari StuNed, there's no turning back. Aku harus meluruskan niat untuk S2. Harus pakai kacamata kuda, untuk fokus pada tujuanku. Sacrifices should be made, and i hope it'd be all worth it.


xoxo,
Alif




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biaya Hidup (Living Cost) Kuliah di Groningen, Belanda

[Cerita] Magang di Accenture Indonesia yuk!

[Cerita] Interview Magang di Traveloka